Mungkin tidak banyak yang mengira bahwa MG4D, salah satu grup musik yang kini dikenal di berbagai festival musik alternatif Indonesia, dulunya hanya berawal dari kamar kos sempit dan laptop tua. Namun seperti kata pepatah, kreativitas sejati tidak mengenal batas ruang atau alat. mg 4d adalah bukti nyata bahwa dengan visi, konsistensi, dan keberanian untuk berbeda, segala kemungkinan bisa jadi nyata.
Grup ini tidak hanya tumbuh menjadi proyek musik yang diperhitungkan, tapi juga menjadi inspirasi bagi banyak anak muda yang sedang merintis jalan mereka di dunia kreatif. Cerita MG4D adalah cerita tentang keberanian untuk bermimpi—dan mewujudkannya.
Lahir dari Keresahan
MG4D tidak dibentuk untuk mengikuti tren. Mereka hadir karena keresahan. Keresahan akan rutinitas, tekanan hidup di kota besar, ketidakpastian masa depan, dan rasa hampa yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Musik menjadi cara mereka menyampaikan semua itu.
Dua dari empat personel MG4D adalah mahasiswa teknik, sementara dua lainnya berasal dari latar belakang seni dan sastra. Mereka bertemu dalam sebuah komunitas kecil di pinggiran Jakarta yang membahas musik eksperimental dan puisi jalanan. Dari pertemuan yang tidak disengaja itulah lahir kolaborasi, obrolan panjang hingga subuh, dan akhirnya… lagu-lagu pertama MG4D.
Mereka mulai dengan peralatan seadanya—rekaman pakai ponsel, mixing pakai software gratisan, dan vokal yang kadang direkam di bawah selimut agar tidak terganggu suara kendaraan dari luar. Tapi justru dari keterbatasan itulah, muncul kejujuran. Musik MG4D tidak dibuat untuk “laku”, melainkan untuk menyampaikan isi hati.
Menemukan Suara Sendiri
MG4D tidak butuh waktu lama untuk menemukan ciri khas mereka. Alih-alih mengikuti genre tertentu, mereka memilih untuk menggabungkan banyak unsur: lirik seperti potongan buku harian, beat elektronik yang kadang tidak teratur, dan melodi yang mengalun pelan seperti mimpi.
Salah satu lagu mereka yang berjudul “Langit di Antara Gedung” viral di kalangan komunitas Twitter karena liriknya yang menyentuh dan jujur. Lagu itu bercerita tentang seseorang yang setiap hari naik KRL dan bermimpi suatu hari bisa hidup dari karya seni. Liriknya bukan dibuat-buat, tapi diambil dari catatan harian personel MG4D sendiri.
Sejak itu, MG4D mulai dikenal sebagai kelompok musik yang dekat dengan kenyataan. Lagu-lagu mereka menggambarkan kehidupan anak muda urban dengan segala kompleksitasnya: kelelahan, cinta sepihak, kesepian digital, dan harapan kecil yang tak pernah padam.
Penggemar Sebagai Keluarga
Salah satu hal yang paling menarik dari MG4D adalah hubungan mereka dengan para penggemar. Mereka tidak menyebut pendengar mereka sebagai “fans”, tapi sebagai “teman seperjalanan”. Di akun media sosialnya, MG4D sering memposting cerita dari para pendengar, membalas komentar satu per satu, dan bahkan mengajak mereka berdiskusi tentang tema lagu berikutnya.
Beberapa lagu mereka lahir dari surat elektronik dan DM yang dikirimkan oleh penggemar. Salah satunya adalah “Di Balik Layar Laptop”, lagu yang terinspirasi dari kisah seorang mahasiswa yang merasa kehilangan arah hidup selama kuliah daring. MG4D menuliskan lagu itu sebagai bentuk pelukan musikal, dan banyak yang mengatakan lagu tersebut membantu mereka melewati masa sulit.
Dengan pendekatan seperti ini, MG4D tidak hanya membuat musik—mereka membangun komunitas. Komunitas yang saling mendukung, saling mendengarkan, dan saling menguatkan. Di era digital yang serba cepat dan cenderung individualistis, komunitas seperti ini menjadi tempat bernaung yang sangat berarti.
Perjalanan ke Festival-Festival
Dari unggahan di YouTube dan SoundCloud, perlahan MG4D mulai mendapat undangan untuk tampil di berbagai festival musik. Mereka memulai dari event kecil seperti bazar kampus dan gigs komunitas, hingga akhirnya masuk ke panggung festival indie besar seperti Archipelago Vibes dan Jogja Noise Bombing.
Yang menarik, setiap penampilan MG4D selalu berbeda. Mereka tidak suka mengulang formula yang sama. Kadang mereka tampil hanya dengan gitar akustik dan pembacaan puisi. Kadang pula mereka tampil full band dengan visual latar yang memukau dan koreografi teatrikal.
Penonton datang bukan hanya untuk mendengar musik, tapi untuk merasakan atmosfer. MG4D berhasil mengubah konser musik menjadi ruang bersama yang penuh emosi, cerita, dan koneksi antarmanusia.
Tidak Takut Bicara
Di balik keindahan karya mereka, MG4D juga dikenal berani menyuarakan isu-isu penting. Mereka tidak diam ketika melihat ketidakadilan. Dalam beberapa lagunya, mereka membahas tentang gentrifikasi, diskriminasi, sampai perusakan lingkungan. Tapi mereka tidak menyampaikan dengan cara kasar atau provokatif. Justru melalui metafora, puisi, dan ironi.
MG4D percaya bahwa musik punya kekuatan untuk membangkitkan kesadaran. Dan selama masih ada yang mendengarkan, mereka akan terus menyampaikan apa yang menurut mereka penting.
Pada saat konser online di masa pandemi, MG4D bahkan menyisihkan sebagian hasil penjualan merchandise untuk mendukung komunitas pekerja seni yang terdampak. Mereka menganggap seni sebagai perjuangan kolektif, bukan kompetisi.
Masa Depan MG4D: Tetap Kecil Tapi Bermakna
Saat ini, MG4D sedang mempersiapkan album penuh pertama mereka yang akan dirilis secara mandiri. Proyek ini digarap selama hampir dua tahun, dan mereka memilih untuk tidak tergesa-gesa. Mereka ingin setiap lagu dalam album itu punya ruh, punya cerita, dan punya dampak.
Mereka juga mulai bereksperimen dengan bentuk seni lain, seperti buku puisi, pameran multimedia, dan proyek kolaboratif bersama ilustrator serta penulis lokal. MG4D tidak ingin terjebak dalam label sebagai “band”, karena bagi mereka, MG4D adalah ruang ekspresi yang terus berkembang.
Mereka tidak mengejar ketenaran, tapi makna. Mereka tidak ingin menjadi besar, tapi ingin tetap jujur. Dan mungkin karena itulah, mereka justru jadi sangat berarti.
Penutup
MG4D bukan hanya grup musik. Mereka adalah kisah keberanian. Kisah tentang empat anak muda yang memilih jalan yang sulit tapi tulus. Di tengah dunia yang sering memaksa kita untuk menyesuaikan diri dan menekan mimpi, MG4D hadir sebagai pengingat bahwa kita bisa berbeda, dan tetap diterima.
Mereka tidak menjanjikan solusi, tapi mereka menawarkan pelukan dalam bentuk lagu. Dan dalam zaman yang serba cepat dan penuh tekanan ini, pelukan seperti itu adalah hal yang sangat langka—dan sangat dibutuhkan.